“Hanin kalau mau pipis dimana?”
Di toi ..... let.... dengan
ucapan cadel dan belum fasih dia menyambung kaliat toilet yang ku lafalkan.
Lutfia Hanin putri yang kedua
baru berusia 2 tahun bulan Mei lalu, karena kehamilanku yang memasuki usia 9 bulan,
aku mulai mengajarkannya untuk bisa lepas dari diapers. Tujuannya sih untuk
menghemat biaya saat adeknya lahir nanti, tak terbebani dengan harga diapers
untuk dua orang anak.
Baru sejam yang lalu aku
peringatkan putri kecilku berulang kali,
“kalau mau pipis atau buang air,
kasi tau umy gih, atau ke toilet gih” wajah polos putri kecilku mengangguk
dengan mantap. “oilet ipis anin..” dia mengulang kalimat yang aku ajarkan, aku
tersenyum geli melihatnya.
@Hanif&Hanin@
“Hanif .... temenin adek main
gih, umy mau ke atas jemur pakaian dulu”
“gih umy ..” si abang dengan
lantangnya menjawab.
Cucian yang sudah di keringkan
dari mesin cuci tiga hari lalu, akhirnya bisa ku jemur juga, terkendala
kesibukan dan perut yang makin membuncit di ikuti dengan kaki yang membengkak,
tak sanggup menuntunku melangkah naik ke lantai dua walau hanya untuk sekedar
menjemur pakaian.
Kesibukanku sedari pagi membuatku
merasa lelah dan ingin segera berbaring walau hanya sebentar saja, karena
bintang (nama bayi dalam perutku, yang di berikan nama oleh kakaknya)
sepertinya sudah mulai lelah juga mengikuti kesibukanku berbenah rumah sedari
pagi. Turun dari lantai setelah selesai menjemur pakaian yang menggunung, aku
langsung menuju kamar untuk segera membaringkan badan di atas kasur yang sudah
menggodaku sedari tadi.
Tapi ......... ada yang
menjanggal saat aku baru saja sampai di depan pintu kamar. Kenapa baju bersih
yang tadinya ada di ranjang berserakan di lantai, dan disana ada putri kecilku
termangu berdiri tak berani bergerak.
“Hanin .... ngapain disana?”
dengan polosnya dia menjawab “Ipis anin “
Mataku melotot melihat pakaian
bersih yang belum sempat aku lipat berserakan di lantai menjadi lap pipis putri
kecilku.
“kenapa pipis di sini, umy kan
sudah bilang, kalau mau pipis kasi tau umy, kalau mau pipis itu di toilet”
dengan tanpa bersalah dia malah menjawah “oilet anin ipis” Hanin .... ini bukan
toilet, kenapa pipis disini, mulutku tak berhenti mengomel sembari membuka
celananya dengan perasaan dongkol dan marah, tak terasa air mataku keluar
dengan derasnya sambil teriak kecil aku mengomel pada putri kecilku yang belum
mengerti akan sikapku yang tiba-tiba marah dan menangis.
“Hanin kenapa pipis di dekat
pakaian bersih, kan semuanya jadi kotor lagi, Umy capek nyuci, nggakda yang
bantuin nyuci, belum lagi pekerjaan lain yang belum kelar, aku mencecar putriku
sembari mengumpulkan kembali pakaian bersih yang terkena pipis untukku cuci
ulang kembali. Putriku hanya bisa tersenyum dan heran melihatku yang
marah-marah sambil menagis memarahinya.
Hampir 15 menit aku menangis
sampai sesenggukan dan mata bengkak, tanganku sesekali memukuli pelan kaki
kecil putriku dengan rasa tak menentu, antara marah dan bingung mau marah pada
siapa. Hanin yang ku pukuli kakinya hanya menangis pura-pura dan berkata “Jangan
pukul nanin... atit, oilet anin ipis” berulang kali dia mengucapkan kalimat itu
setiap kali tanganku memukul kakinya pelan.
@Hanif&Hanin@
Aku tersadar setelah lelah
menangis, kenapa hal sepele seperti ini malah membuatku menangis sampai
sesenggukan dan mata bengkak. Sebenarnya apa yang membuatku merasa begitu marah
dan menangis membuatku begitu lega. Kemarahan yang mengitariku satu bulan
terakhir ini lepas begitu saja bersama isak tangisku. Aku bukannya marah pada
putriku, tapi aku sepertinya aku marah pada suamiku, iya ..... suamiku.
Usia kehamilanku yang sudah
mendekati hari kelahiran, sepertinya membuatku lebih sensitif dari biasanya. Pekerjaan
ibu rumah tangga yang tiada akhir membuatku semakin stress, belum lagi tugas
sebagai kepala sekolah dan dosen yang menuntutku untuk bisa membagi waktu. Suamiku
yang selama pandemi ini tidak bisa berangkat menjadi pembimbing umroh membuatku
gelagapan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Berbagai macam permasalahan
yang mengitari otakku, hingga aku tak mampu menahan kucuran air mata hanya
karena masalah sepele yang di sebabkan putriku, itu hanya sekedar alasan saja.
Pesantren yang baru saja mulai
kami rintis, membuatku suamiku sibuk sedari pagi hingga malam hari, letaknya
yang lumayan jauh dari rumah membuatnya jarang pulang, walau hanya untuk
sekedar istirahat sebentar saja. Karena kesibukan itu aku merasa tak di
perhatikan lagi, jika pulang itu hanya beberapa menit saja, kemudian pergi lagi
tanpa sempat ngobrol atau hanya sekedar bertanya keadaanku.
@Hanif&Hanin@
Suatu malam, aku yang sudah lelah
sepulang mengajar dari Sekolah yang letaknya cukup jauh dari tempat tinggalku
(pesantren ayahku yang terletak di bagian lombok selatan) masih harus
melaksanakan kewajibanku sebagai seorang istri untuk menyiapkan makan malam
untuk suamiku. Dengan sisa tenaga yang ada, aku mulai bergelut di dapur. Memasak
nasi dengan magiccom dan menumis sayur sawi yang tadi ku beli di pasar keruak
sepulang sekolah.
Terdengar suara mesin motor di
matikan dari arah depan rumah, aku yakin itu motor suamiku, akan ku sambut dia
dengan menyiapkan makan malam bersama, namun sampai 10 menit aku menunggu tak
ada suara gerbang besi teras rumah di buka, “kemana gerangan dia pergi?” aku
bergumam dalam hati. Sekitar setengah jam berlalu, aku mencium bau asap rokok
dari teras depan ... ah ... rupanya dia disana.
Aku mendekatinya dan bertanya “Kak,
udah makan?” dengan cuek dia menjawab “Iya, sudah, sedikit tadi di rumah direk
(baca : rumah bawah, rumah mertua).
Kenapa tetiba perasaanku menjadi
marah, geram, gondok, dan dongkol. Tanpa kata aku balik badan masuk ke kamar
dan langsung rebahan dan menangis. Aku bergumam “kenapa nggak ngasi tau sih
kalau udah makan, aku kan udah masak, aku kan menunggu untuk makan bersama, aku
juga lapar” “tega banget sih, kayak nggak peduli lagi” aku yang sudah lelah
menunggu sampai rela menahan lapar sekita itu juga menjadi kenyang. Ingin ku
buang semua masakan yang sudah ku masak tadi, tapi naluri hemat dan mubazir
sebagai ibu rumah tangga mencegahku melakukan itu. Aku hanya bisa diam terisak
sampai terlelap.
Sejak saat itu, aku mulai
melakukan aksi perang diam, setiap kali suamiku mengajakku ngomong, aku seakan
tak mendengar apa yang dia omongkan, jika dia bertanya hal yang mendesak, aku
menjawab sekedarnya saja. Tapi, dia masih saja belum sadar kalau aku lagi
marah.
Mungkin karena sikapku di rumah
yang sepertinya tidak peduli dia di rumah atau tidak, dia menjadi lebih jarang
pulang lagi, lebih banyak menghabiskan waktu di pesantren. Dan aku, masih
melanjutkan aksi perang diamku, tanpa bicara dan tanpa masak. (suamiku makan
dimana? Dimakan di rumah mertuaku pastinya, aku dan anak-anakku beli nasi
pastinya he,he).
Hari kedua dalam aksi perang
diamku, suamiku tiba-tiba bertanya
“Dek, ... gimana caranya kita
bayar setoran motor bulan ini?” aku hanya diam tak menjawab.
Dia bertanya lagi “Dek ... gimana
dong, kakak udah mencoba mencari pinjaman kesana kemari, tapi nggak dapat” aku
yang lelah mendengar ocehannya menjawab ketus “Terserah”.
Suamiku pun berlalu tanpa kata,
kembali ke pesantren dengan wajah ketus.
Hari berikutnya, aksi perang
diamku masih berlanjut. Sepertinya dia mulai tersadar ada yang tidak beres
dengan sikapku tiga hari ini, hingga saat aku rebahan sambil menonton televisi
dia mendekatiku dan bergumam “gimana ya, cara bayar setoran motor bulan ini”
seakan tak peduli aku diam saja seakan tak mau di ganggu menikmati waktu
menonton televisi. Namun beberapa saat kemudian dia bertanya padaku
“Dek,... ayo dong, bantuin gimana
caranya setoran motor bulan ini?”
Aku yang bosan mendengarnya
bertanya mulai menjawab perlahan dengan sabar sembari membelakanginya
“Kak ... plis, jangan bebani aku
lagi dengan memikirkan tagihan motor, aku sudah cukup lelah memikirkan belanja
dapur, belanja perlengkapan rumah, belanja anak-anak, belanja anak-anak
saudaramu, sedangkan kakak sendiri tidak pernah memberikan aku uang belanja
untuk semua kebutuhan itu, entah itu saat kakak lagi ada uang ataupun tidak,
aku paham sekarang kakak lagi tidak ada uang, tapi tetap saja, saat ada uangpun
kakak tidak memberikanku uang belanja, dan aku hanya berharap dari uang sekolah
yang aku pinjam, gaji dosen yang tak seberapa, namun apa, kakak malah
melarangku mengajar dengan berbagai macam alasan, apa kakak rela melihatku
memberikan anak-anak makan dari uang haram, uangnya gaji kupakai tapi aku tidak
mengajar. Sudah kak aku lelah, jangan lagi bebani otakku dengan setoran motor
itu, usahakan saja sendiri, toh aku tidak pernah minta tolong kakak untuk ikut
memikirkan belanja dapurku.
Apa kakak sadar, selama
kehamilanku yang ketiga ini, kakak kurang perhatian padaku, aku sampai sempat
berfikir, jika ini adalah kehamilan terkahirku, jika kakak masih saja
memperlakukan aku seperti ini, tidak seperti kehamilanku sebelumnya, kemanapun
aku pergi kakak siap sedia mengantarku, apapun keinginanku kakak siap
memenuhinya, namun sekarang, kemana-mana aku bawa motor sendiri dengan perut
segede ini, saat butuh bantuan ini dan itu, kakak tidak pernah ada karna kesibukan
yang entah apa yang kakak sibukkan, hingga dalam banyak hal pekerjaan berat
sekalipun bisa aku selesaikan tanpa bantuan kakak, karena minta tolong kepada
kakak itu sudah membuatku malu karena terlalu sering kakak tidak perdulikan.
Entah berapa menit aku mengoceh tanpa
jeda meluapkan isi hatiku selama ini, entah berapa paragraf kalimat yang sudah
ku ucapkan untuk melepaskan beban di otak kecilku. Suamiku hanya terdiam
mendengar ocehanku yang keluar begitu saja tanpa berfikir. Setelah lama
mengoceh barulah aku membalikkan badan melihatnya karena mendengar suara
dengkuran kecil, saat itu juga aku gondok kembali melihatnya terlelap tanpa
merasa bersalah. Terus dari tadi aku marah sama siapa????
@Hanif&Hanin@
Saat sore menjelang magrib, aku
menatap putri kecilku yang siang tadi aku marahi karena hal sepele. Aku memeluknya
sembari meminta maaf
“maafin umy gih sayang, sini umy
peluk”
Dia hanya tersenyum dan
bergelayut manja minta di cium dan di peluk.
Aku mulai tersadar, putri kecilku
senyumnya meluluhkan semua amarahku, celotehnya memusnahkan semua lelahku, apa
salahnya hingga aku memarahinya, dia hanya alasan aku menangis untuk melepas bebanku
selama ini.
Akh ... andai saja pikiranku
seperti pikirannya, mungkin takkan ada yang menjadi beban bagiku, inginku
kembali menjadi anak kecil yang hanya menikmati indahnya bermain, dan mengadu
saat ada yang mengganggu.
Maafkan umy putri kecilku,
memarahimu bukan karna salahmu.
Akupun hanya bisa tersenyum jika
mengingat kembali alasanku menangis siang tadi.
Jango, 2 September 2021