Kamis, 02 September 2021

PUTRI KECILKU

“Hanin kalau mau pipis dimana?”

Di toi ..... let.... dengan ucapan cadel dan belum fasih dia menyambung kaliat toilet yang ku lafalkan.

Lutfia Hanin putri yang kedua baru berusia 2 tahun bulan Mei lalu, karena kehamilanku yang memasuki usia 9 bulan, aku mulai mengajarkannya untuk bisa lepas dari diapers. Tujuannya sih untuk menghemat biaya saat adeknya lahir nanti, tak terbebani dengan harga diapers untuk dua orang anak.

Baru sejam yang lalu aku peringatkan putri kecilku berulang kali,

“kalau mau pipis atau buang air, kasi tau umy gih, atau ke toilet gih” wajah polos putri kecilku mengangguk dengan mantap. “oilet ipis anin..” dia mengulang kalimat yang aku ajarkan, aku tersenyum geli melihatnya.

@Hanif&Hanin@

“Hanif .... temenin adek main gih, umy mau ke atas jemur pakaian dulu”

“gih umy ..” si abang dengan lantangnya menjawab.

Cucian yang sudah di keringkan dari mesin cuci tiga hari lalu, akhirnya bisa ku jemur juga, terkendala kesibukan dan perut yang makin membuncit di ikuti dengan kaki yang membengkak, tak sanggup menuntunku melangkah naik ke lantai dua walau hanya untuk sekedar menjemur pakaian.

Kesibukanku sedari pagi membuatku merasa lelah dan ingin segera berbaring walau hanya sebentar saja, karena bintang (nama bayi dalam perutku, yang di berikan nama oleh kakaknya) sepertinya sudah mulai lelah juga mengikuti kesibukanku berbenah rumah sedari pagi. Turun dari lantai setelah selesai menjemur pakaian yang menggunung, aku langsung menuju kamar untuk segera membaringkan badan di atas kasur yang sudah menggodaku sedari tadi.

Tapi ......... ada yang menjanggal saat aku baru saja sampai di depan pintu kamar. Kenapa baju bersih yang tadinya ada di ranjang berserakan di lantai, dan disana ada putri kecilku termangu berdiri tak berani bergerak.

“Hanin .... ngapain disana?” dengan polosnya dia menjawab “Ipis anin “

Mataku melotot melihat pakaian bersih yang belum sempat aku lipat berserakan di lantai menjadi lap pipis putri kecilku.

“kenapa pipis di sini, umy kan sudah bilang, kalau mau pipis kasi tau umy, kalau mau pipis itu di toilet” dengan tanpa bersalah dia malah menjawah “oilet anin ipis” Hanin .... ini bukan toilet, kenapa pipis disini, mulutku tak berhenti mengomel sembari membuka celananya dengan perasaan dongkol dan marah, tak terasa air mataku keluar dengan derasnya sambil teriak kecil aku mengomel pada putri kecilku yang belum mengerti akan sikapku yang tiba-tiba marah dan menangis.

“Hanin kenapa pipis di dekat pakaian bersih, kan semuanya jadi kotor lagi, Umy capek nyuci, nggakda yang bantuin nyuci, belum lagi pekerjaan lain yang belum kelar, aku mencecar putriku sembari mengumpulkan kembali pakaian bersih yang terkena pipis untukku cuci ulang kembali. Putriku hanya bisa tersenyum dan heran melihatku yang marah-marah sambil menagis memarahinya.

Hampir 15 menit aku menangis sampai sesenggukan dan mata bengkak, tanganku sesekali memukuli pelan kaki kecil putriku dengan rasa tak menentu, antara marah dan bingung mau marah pada siapa. Hanin yang ku pukuli kakinya hanya menangis pura-pura dan berkata “Jangan pukul nanin... atit, oilet anin ipis” berulang kali dia mengucapkan kalimat itu setiap kali tanganku memukul kakinya pelan.

@Hanif&Hanin@

Aku tersadar setelah lelah menangis, kenapa hal sepele seperti ini malah membuatku menangis sampai sesenggukan dan mata bengkak. Sebenarnya apa yang membuatku merasa begitu marah dan menangis membuatku begitu lega. Kemarahan yang mengitariku satu bulan terakhir ini lepas begitu saja bersama isak tangisku. Aku bukannya marah pada putriku, tapi aku sepertinya aku marah pada suamiku, iya ..... suamiku.

Usia kehamilanku yang sudah mendekati hari kelahiran, sepertinya membuatku lebih sensitif dari biasanya. Pekerjaan ibu rumah tangga yang tiada akhir membuatku semakin stress, belum lagi tugas sebagai kepala sekolah dan dosen yang menuntutku untuk bisa membagi waktu. Suamiku yang selama pandemi ini tidak bisa berangkat menjadi pembimbing umroh membuatku gelagapan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Berbagai macam permasalahan yang mengitari otakku, hingga aku tak mampu menahan kucuran air mata hanya karena masalah sepele yang di sebabkan putriku, itu hanya sekedar alasan saja.

Pesantren yang baru saja mulai kami rintis, membuatku suamiku sibuk sedari pagi hingga malam hari, letaknya yang lumayan jauh dari rumah membuatnya jarang pulang, walau hanya untuk sekedar istirahat sebentar saja. Karena kesibukan itu aku merasa tak di perhatikan lagi, jika pulang itu hanya beberapa menit saja, kemudian pergi lagi tanpa sempat ngobrol atau hanya sekedar bertanya keadaanku.

@Hanif&Hanin@

Suatu malam, aku yang sudah lelah sepulang mengajar dari Sekolah yang letaknya cukup jauh dari tempat tinggalku (pesantren ayahku yang terletak di bagian lombok selatan) masih harus melaksanakan kewajibanku sebagai seorang istri untuk menyiapkan makan malam untuk suamiku. Dengan sisa tenaga yang ada, aku mulai bergelut di dapur. Memasak nasi dengan magiccom dan menumis sayur sawi yang tadi ku beli di pasar keruak sepulang sekolah.

Terdengar suara mesin motor di matikan dari arah depan rumah, aku yakin itu motor suamiku, akan ku sambut dia dengan menyiapkan makan malam bersama, namun sampai 10 menit aku menunggu tak ada suara gerbang besi teras rumah di buka, “kemana gerangan dia pergi?” aku bergumam dalam hati. Sekitar setengah jam berlalu, aku mencium bau asap rokok dari teras depan ... ah ... rupanya dia disana.

Aku mendekatinya dan bertanya “Kak, udah makan?” dengan cuek dia menjawab “Iya, sudah, sedikit tadi di rumah direk (baca : rumah bawah, rumah mertua).

Kenapa tetiba perasaanku menjadi marah, geram, gondok, dan dongkol. Tanpa kata aku balik badan masuk ke kamar dan langsung rebahan dan menangis. Aku bergumam “kenapa nggak ngasi tau sih kalau udah makan, aku kan udah masak, aku kan menunggu untuk makan bersama, aku juga lapar” “tega banget sih, kayak nggak peduli lagi” aku yang sudah lelah menunggu sampai rela menahan lapar sekita itu juga menjadi kenyang. Ingin ku buang semua masakan yang sudah ku masak tadi, tapi naluri hemat dan mubazir sebagai ibu rumah tangga mencegahku melakukan itu. Aku hanya bisa diam terisak sampai terlelap.

Sejak saat itu, aku mulai melakukan aksi perang diam, setiap kali suamiku mengajakku ngomong, aku seakan tak mendengar apa yang dia omongkan, jika dia bertanya hal yang mendesak, aku menjawab sekedarnya saja. Tapi, dia masih saja belum sadar kalau aku lagi marah.

Mungkin karena sikapku di rumah yang sepertinya tidak peduli dia di rumah atau tidak, dia menjadi lebih jarang pulang lagi, lebih banyak menghabiskan waktu di pesantren. Dan aku, masih melanjutkan aksi perang diamku, tanpa bicara dan tanpa masak. (suamiku makan dimana? Dimakan di rumah mertuaku pastinya, aku dan anak-anakku beli nasi pastinya he,he).

Hari kedua dalam aksi perang diamku, suamiku tiba-tiba bertanya

“Dek, ... gimana caranya kita bayar setoran motor bulan ini?” aku hanya diam tak menjawab.  

Dia bertanya lagi “Dek ... gimana dong, kakak udah mencoba mencari pinjaman kesana kemari, tapi nggak dapat” aku yang lelah mendengar ocehannya menjawab ketus “Terserah”.

Suamiku pun berlalu tanpa kata, kembali ke pesantren dengan wajah ketus.

Hari berikutnya, aksi perang diamku masih berlanjut. Sepertinya dia mulai tersadar ada yang tidak beres dengan sikapku tiga hari ini, hingga saat aku rebahan sambil menonton televisi dia mendekatiku dan bergumam “gimana ya, cara bayar setoran motor bulan ini” seakan tak peduli aku diam saja seakan tak mau di ganggu menikmati waktu menonton televisi. Namun beberapa saat kemudian dia bertanya padaku

“Dek,... ayo dong, bantuin gimana caranya setoran motor bulan ini?”

Aku yang bosan mendengarnya bertanya mulai menjawab perlahan dengan sabar sembari membelakanginya

“Kak ... plis, jangan bebani aku lagi dengan memikirkan tagihan motor, aku sudah cukup lelah memikirkan belanja dapur, belanja perlengkapan rumah, belanja anak-anak, belanja anak-anak saudaramu, sedangkan kakak sendiri tidak pernah memberikan aku uang belanja untuk semua kebutuhan itu, entah itu saat kakak lagi ada uang ataupun tidak, aku paham sekarang kakak lagi tidak ada uang, tapi tetap saja, saat ada uangpun kakak tidak memberikanku uang belanja, dan aku hanya berharap dari uang sekolah yang aku pinjam, gaji dosen yang tak seberapa, namun apa, kakak malah melarangku mengajar dengan berbagai macam alasan, apa kakak rela melihatku memberikan anak-anak makan dari uang haram, uangnya gaji kupakai tapi aku tidak mengajar. Sudah kak aku lelah, jangan lagi bebani otakku dengan setoran motor itu, usahakan saja sendiri, toh aku tidak pernah minta tolong kakak untuk ikut memikirkan belanja dapurku.

Apa kakak sadar, selama kehamilanku yang ketiga ini, kakak kurang perhatian padaku, aku sampai sempat berfikir, jika ini adalah kehamilan terkahirku, jika kakak masih saja memperlakukan aku seperti ini, tidak seperti kehamilanku sebelumnya, kemanapun aku pergi kakak siap sedia mengantarku, apapun keinginanku kakak siap memenuhinya, namun sekarang, kemana-mana aku bawa motor sendiri dengan perut segede ini, saat butuh bantuan ini dan itu, kakak tidak pernah ada karna kesibukan yang entah apa yang kakak sibukkan, hingga dalam banyak hal pekerjaan berat sekalipun bisa aku selesaikan tanpa bantuan kakak, karena minta tolong kepada kakak itu sudah membuatku malu karena terlalu sering kakak tidak perdulikan.

Entah berapa menit aku mengoceh tanpa jeda meluapkan isi hatiku selama ini, entah berapa paragraf kalimat yang sudah ku ucapkan untuk melepaskan beban di otak kecilku. Suamiku hanya terdiam mendengar ocehanku yang keluar begitu saja tanpa berfikir. Setelah lama mengoceh barulah aku membalikkan badan melihatnya karena mendengar suara dengkuran kecil, saat itu juga aku gondok kembali melihatnya terlelap tanpa merasa bersalah. Terus dari tadi aku marah sama siapa????

@Hanif&Hanin@

Saat sore menjelang magrib, aku menatap putri kecilku yang siang tadi aku marahi karena hal sepele. Aku memeluknya sembari meminta maaf

“maafin umy gih sayang, sini umy peluk”

Dia hanya tersenyum dan bergelayut manja minta di cium dan di peluk.

Aku mulai tersadar, putri kecilku senyumnya meluluhkan semua amarahku, celotehnya memusnahkan semua lelahku, apa salahnya hingga aku memarahinya, dia hanya alasan aku menangis untuk melepas bebanku selama ini.

Akh ... andai saja pikiranku seperti pikirannya, mungkin takkan ada yang menjadi beban bagiku, inginku kembali menjadi anak kecil yang hanya menikmati indahnya bermain, dan mengadu saat ada yang mengganggu.

Maafkan umy putri kecilku, memarahimu bukan karna salahmu.

Akupun hanya bisa tersenyum jika mengingat kembali alasanku menangis siang tadi.

Jango, 2 September 2021



PUTRI KECILKU

“Hanin kalau mau pipis dimana?” Di toi ..... let.... dengan ucapan cadel dan belum fasih dia menyambung kaliat toilet yang ku lafalkan. ...